ISTILAH-ISTILAH YANG TEPAT PADA BADAN ATAU PEJABAT TUN
Sebelum mempelajari lebih luas tentang pejabat tata usaha negara, terlebih dahulu kita mempelajari tentang istilah tata usaha negara,
A. Istilah TUN
Istilah tata usaha negara yang ada dalam RUU diusulkan oleh FKP untuk menjadi administrasi negara, dengan alasan hendak menampung saran dari kalangan masyarakat, kalangan ilmiah, dan kalangan pemerintah sendiri, yang dilakukan melalui dengan pendapat.
Terhadap istilah TUN ini, fraksi-fraksi lain selain FKP tidak megajukan usul perubahan. Namun, pada prinsipnya terhadap usul perubahan dari FKP ini pun tidak kebertan karena hal ini hanya masalah pilihan saja.
Kemudian, usul perubahan ini ditanggapi oleh pemerintah dengan mengemukakan latar belakang pemerintah mengajukan RUU ini. Judul RUU ini didasarkan pada prinsip bahwa RUU tentang peradilan TUN adalah pelaksanaan dari RUU nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Sebagai pelaksanaan, sudah barang tentu RUU ini harus sesuai dengan UU pokoknya. Karena itu, pemerintah beranggapan judulnya tidak bisa lain dari yang telah ditetapkan dalam UU pokoknya.
Setelah itu, FKP memerikan penjelasan mengapa digunakan istilah administrasi. Menurut FKP, sejak zaman penjajahan belanda hingga kini kata administrasi ini sudah ada dan kata ini mempunyai 2 arti, yakni dalam arti sempit dan luas.
Dalam arti sempit, administrasi adalah hal yang khusus berhubungan dengan surat-menyurat, yang biasanya digunakan istilah tata usaha. Sedangkan dalam arti luas, administrasi berarti pengurusan (beheer), pemerintahan (bestuur), managemen
Jadi, menurut FKP, apabila kita berbicara tata usaha pasti bisa diartikan administrasi, namun, apabila kita berbicara administrasi, maka tidak hanya mencakup tata usaha saja, tetapi mencakup juga arti yang luas, yakni pengurusan , pemerintahan, manajemen yang didalamnyanya tercakup juga pengertian tata usaha, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan surat-menyurat selanjutnya, masuh menurut FKP, yang dimaksud dalam RUU ni adalah administrasi dalam arti yang luas. Karena itu, FKP condong untuk menggunakan istilah yang mempunyai arti luas, yakni administrasi.
Selan itu, FKP juga melihat pada perkembangan peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut istilah tata usaha dan administrasi ini. Istilah TUN memang dapat ditemukan dalam berbagi peraturan perundang-undangan di negara kita misalnya, dalam ketetapan MPR no.IV tahun 1978 UU no.14 tahun 1970, UU no 14 tahun 1985, dan UU no. 2 tagun 1986. dalam buku repelita IV bab XXVII juga dapat ditemukan kata-kata TUN.
Disamping itu, istilah administrasi juga dapat ditemukan dalam ketetapan MPRS tahun 1960, disini istilah yang digunakan adalah peradilan administratif, dalam buku repelita II terdapat istilah peradilan administrasi.
FKP juga melihat dalam RUU itu sendiri ada pasal-pasall yang menggunakan istilah administrasi, misalnya dalam pasal 48 digunakan istilah upya administratif, yang dapat ditemukan juga dalam penjelasan umum. Istilah hukuman administrasi juga dapat ditemukan dalam penjelasan umum, kemudian, pasal 42 RUU juga menggunakan istilah sarjana administrasi.
B. Badan atau pejabat TUN
Dalam RUU tentang peradilan TUN mengenai badan atau pejabat TUN ini diatur dalam pasal 1 butir 2 dan 3 yaitu:
Pasal 1 RUU tentag peradilan tata usaha negara menyatakan:
- badan tata usaha negara adalah badan yang menyelenggarakan kegiatan tata usaha negara
- pejabat tata usaha negara adalah seorang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berwenang untuk mengambil keputusan dibidangnya dalam rangka melaksanakan salah satu kegiatan tata usaha negara.
Pembahasan rapat panitia kerja DPR, pasal 1 butir 2 ini mendapat tanggapan dari FKP.
Menurut FKP, materi yang sedang dibahas saat ini merfupakan materi yang baru bsama sekali, karena itu perlu dipahami apabila ada pendapat yang juga dirasakan baru. Khusus mengenai badan TUN, istilah ini merupakan istilah yang baru. Istilah badan TUN khusus dengan sengaja diciptakan, karena pemerintah ingin menyesuaikan dengan nama peradilan yang baru nanti. Hal ini dikemukakan pemerintah agar terdapat kesatuan istilah.
Apabila kita melihat pada pasal 1 butir 1 RUU, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan badan TUN adalah pemerintah. Seperti ita ketahui istilah pemerintah ini sudah hidup dikalangan masyarakat. Dkalangan pemerintah sendiri istilah pemerintah ini sudah memasyarakat sejak lahirnya Uud 1945, namun pemerintah tampaknya memandang perlu menciptakan istilah baru, yakni badan TUN, yang menurut FKP sama artinya dengan pemerintah. Karena itu FKP memohon kepada fraksi lainnya beserta pemerintah untuk mempertimbangkan apakah tidak lebih tepat bila digunakan istilah pemerintah dari pada istilah baru, yakni badan TUN, yang artinya sama dengan pemerintah.
Terhadap usul FKP ini, fraksi-fraksi lain dalam DIM-nya tidak mempermasalahkan mengenai istilah badan TUN ini, namun fraksi-fraksi lain untuk sementara waktu menunggu sampai seberapa jauh taggapan atau penjelasan pemerintah.
Atas usul FKP ini pemerintah menjelaskan bahwa memang benar apa yang dikemukakan oleh FKP bahwa materi RUU yang dibahas ini adalah materi baru. Kita mencari sesuatu yang sesuai dengan situasi kondisi kita, sesuai dengan apa yang berlaku, sesuai dengan apa yang kita rasakan, jadi, mencari kriteria atau tolak ukur baru.
Pemerintah menggunakan istilah badan TUN didasarkan pada sistematika RUU ini. Jadi bukan baru, tetapi istilah yang mengikuti sistematika. Karena judulnya peradilan TUN maka seluruh pasal mulai dari pasal 1 diusahakan sejauh mungkin menggunakan peristilahan atau kata yang sama, yakni TUN. Walaupun disadari oleh pemerintah bahwa dalam pasal-pasal selanjutnya tidak bisa diikuti secara konsekuen dan konsisten inilah yang merupakan alasan mengapa pemerintah menggunakan istilah ini.
Mengenai istilah badan ini, pemerintah memberikan penjelasan karena betapa banyaknya organ didalam pemerintahan kita. Ada yang menggunakan istilah direktorat, biro, departement, lembaga, badan. Karena banyaknya istilah ini, maka pemerintah mencari satu istilah yang mencakup kesuruhan, yakni badan. Badan disini menunjukkan organnya belum menunjukkan fungsionaris atau orangnya, pejabatnya.
Karena pembahasan ini belum ada kesepakatan, maka pemerintah tidak berkeberatan untuk dibahas dalam rapat panitia kerja, dengan catatan tidak semua pasal nantinyab dibahas dalam rapat panitia kerja.
Untuk sementara dalam rangka pasal 1 butir 2 RUU ini, FKP setuju untuk dibicarakan dalam rapat panitia kerja. Namun, sebelumnya FKP menyodorkan suatu istilah yang sudah sering digunakan dalam peraturan perundang-undangan kita, mudah-mudahan dapat dipertimbangkan leh fraksi-fraksi lain dan juga oleh pemerintah. Misalnya, dalam GBHN dan UU no. 8 tahun 1974 dan UU lain meggunakan istilah aparatur, disamping itu, UU no. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan didesa menggunakan istilah perangkat . jadi, mengenai istilah lain yang lebih cocok atau sudah lazim digunakan dalam peraturan perundang-undangan selama ini.
Terhadap usul dari FKP ini, masing-masing fraksi memberikan tanggapan, secara garis besar sebagai berikut. FABRI dalam DIM-nya tidak memberikan catatan, hal ini berarti FABRI menyetujui konsep RUU sedangkan mengenai peristilahan yang diusulkan oleh FKP, yakni aparatur pemerintah dan perangkat FABRI menganggap seyogyanya tidak dibicarakan, karena kurang relevan dengan judul dan isi RUU ini. FPP dan FPDI pada prinsipnnya menyetujui konsep RUU, namun sebelumnya perlu mendengarkan penjelasan dari pemerintah terlebih dahulu
Terhadap tanggapan diatas, pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut. Dalam mengakomodasikan usul fraksi-fraksi, pemerintahpun tidak akan menyimpang dari konsep RUU. Pasal 1 RUU menggunakan istilah TUN . karena itu pemerintahpun tetap mempertahankan istilah TUN. Hanya kalimat berikutnya yang diusahakan untuk diakomodasikan, itupun masih harus dikaji lebih mendalam lagi ditingkat panitia kerja. Mengenai butir 2 inipun pemerintah berpendapat harus berhati-hati untuk menggunakan istilah baru sebagai pengganti badan, karena membahas butir 2 tidak terlepas dari butir-butir selanjutnya. istilah yang terdapat dalam butir 2 tentu akan timbul dalam butir-butir berikutnya.
Masih dalam rangka pembahasan butir 2 ini, pemerinrtah menjelaskan lebih lanju bahwa semua permasalahan yang dibicarakan dan dibahas ini terutama menyangkut mengenai istilah badan dan TUN. Istilah ini digunakan sebetulnya dalam rangka memberikan pengertian tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka yang disebut dengan kekuasaan umum dan, hal ini dititik beratkan pada hal-hal yang bersifat kegiatan. Pemerintah beranggapan apabila RUU ini menggunakan istilah pemerintah, maka akan tidak tepat karena istilah pemerintah yang dimaksud dalam UU tentang pko-pokok pemerintahan didaerah hanya mencakup pemerintah pusat saja. Sedangkan yang hendak dijangkau oleh peradilan TUN itu sampai ke tingkat daerah.
Mengenai istilah perangkat atau aparatur sebagai pengganti istilah badan, pemerintah beranggapan hendaknya perlu berhati-hati, karena menciptakan istilah pun ada konsekuensi-konsekuensinya. Sekali lagi, yang menjadi inti permasalahannya adalah kegiatan, dan kegiatan ini adalah kegiatan yang menyangkut kekuasaan umum, kegiatan yang menyangkut urusan pemerintahan. Pemerintah kwatir apabila mengikuti gagasan atau pikiran FKP, yaitu istilah badan TUN diganti dengan badan pemerintah karena istilah pemerintah sudah memasyarakat. Sebetulnya ada sebagian kegiatan yang terletak dalam bidang yudikatif dan ada pula yang terletak dalam bidang legislatif. Jadi apabila pemerintah itu dianggap struktural, maka hal ini tidak tepat sebab intinya adalah kegiatan. Hakim dipengadilan selain melaksanakan tudas-tugas yudikatif juga melakukan kegiatan-kegiatan kekuasaan umum yang tidak ada hubungannya dengan bidang yudikatif, misalnya, hakim sebagi wali, dan sebagainya jadi, apabila istilah diganti dengan badan pemerintahan, maka ada kesulitan dalam segi yuridis karena itu, apabila pemerintah ini dianggap struktural menjadi susah, belum lagi istilah badan pemerintahan ini, sebab kata pemerintahan itu pada umumnya dikaitkan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tetapi apabila digunakan istilah badan TUN dan TUN ini untuk menyatakan urusan pemerintahan, maka urusan pemerintahan ini menjadi sangat luas.
Karena belum ada kesepakatan, pembahasan butir 2 ini ditunda dan diteruskan untuk membahasas butir 3,4,5 dan butir 6, karena dalam butir ini terdapat juga istilah badan. Pembahasan berikutnya adalah butir 3.
Butir 3 ini, yang erat kaitannya dengan butir 2, dipermasalahkan oleh FKP dengan mengemukakan suatu pertanyaan apakah ada pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan tidak mewakili atau tidak atas nama badan TUN. Pertanyaan ini timbul karena ada istilah badan yang nantinya akan terlihat dalam butir 4, menurut FKP, istilah badan atau pejabat itu setingkat, jadi, bilamana istilah badan itu diletakkan diatas kemudian dalam butir berikutnya muncul istilah pejabat merupakan bagian dari badan.
Terhadap permasalahan yang dikemukakan FKP ini, fraksi-fraksi lain memberikan tanggapan sebagai berikut. FPDI dalam DIM-nya menginginkan penjelasan yang konkret apa yang dimaksud pejabat TUN dalam artian tindakan-tindakan para pejabat TUN ini dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan. Sebab, menurut FPDI para pejbat itu apabila mengeluarkan keputusan juga atas nama badannya atau instansinya
FPP memberikan tanggapan bahwa perlu penjelasan dalam penjelasan psal demi psal tentang salah satu kegiatan TUN yang berkaitan dengan kegiatan politik. Kegiatan TUN itu lebih dari satu,diantara kegiatan TUN itu bukan tidak mungkin ada yang berkaitan dengan keputusan politik atau lebih tepat dikatakan keputusan yang berlatar belakang politik.
Selanjutnya FABRI mengemukakan bahwa sebagaimana dalam DIM-nya, FABRI tidak memberikan komentar. Hal ini berarti FABRI menyetujui rumusan yang tercantum dalam RUU.
Pemerintah dalam menanggapi masalah ini mengemukakan bahwa butir 3 dilihat dari segi sistematika peraturan perundang-undangan memang berurutan dengan butir 2. dengan demikian , hal ini juga akan ditemukan dalam butir 4. dalam butir 2 diatur mengenai pengertian badan. Dalam butir 3 diatur pengertian pejabat. Dan dalam butir 4 bertemulah istilah badan dan pejabat yang sesungguhnya merupakan inti permasalahan, karena butir 4 mengatur mengenai objek sengketa dalam peradailan TUN, yakni keputusan TUN. Karena itu, dari segi sistematika yag tampil terlebih dahulu adalah istilah badan, baru kemudian tampil istilah pejabat. .
Terhadap peryataan apakah mungkin ada pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan tidak mewakili atau tidak atas nama badan, pemerintah memberikan jawaban mungkin. Karena, ada pejabat yang tidak mewakili badan, pejabat tersebut mengeluarkan keputusan dan kemudian tanda tangan namun, tidak mengatasnamakan badan. Terhadap kemungkinan ini RUU tentang peradilan TUN sudah mengambil ancang-ancang. Sebab, apabila terjadi hal seperti ini, berarti terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau penyalahgunaan kewenangan.
Lazimnya, pejabat itu membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan badannya. Sebagai contoh, badannya bernama direktorat, maka pejabatnya adalah direktur, dan sebagainya. Administrasi atau tata usaha yang baik tentunya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku, kendatipun ketentuan ini belu seragam. Ada yang tanda tangan “untuk beliau”, “atas nama beliau”, atas pemerintah”, dan sebagainya. Hal ini semua akan dikaji oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seangkan istilah peraturan perundang-undangan akan dijelaskan dalam penjelasan pasalnya.
Setelah melalui perdebatan uang panjang, akhirnya rumusan butir 2 dan butir 3 disetujui untuk disatukan, dengan rumusan sementara: “yang dimaksud dalam undang-undang ini (dengan) perangkat TUN adalah setiap pejabat atau setiap badan TUN yang memiliki kekuasaan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Rumusan ini akan menjadi bahan dalam pembahasan rapat panitia kerja dan semua fraksi, begitu juga pemerintah, menyetujuinya.
Akhirnya, dalam rapat panitia kerja rumusan itu diuhab menjadi “badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabatyang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dan, rumusan inilah yang digunakan dalam UU nomor 5 tahun 1986. dalam UU tersebut rumusan ini diatur dalam pasal 1 butir 2. dalam penjelasannya dijelaskan apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangn itu.
C. Keputusan TUN
Mengenai keputusan TUN dalam RUU diatur dalam pasal 1 yaitu:
Penjelasan pasal 1 angka 2 UU nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara menyatakan: “yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh bdan perwakilan rakyat bersama pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.
Butir 4 terhadap rumusan ini, pertma kali diberi kesempatan kepada FABRI untuk memberikan tanggapannya.
Sebagaimana termaktub dalam DIM-nya, pada hakikatnya RUU ini bisa diterima oleh FABRI, hanya mengenai peristilahan badan privat yang kurang jelas. Jadi, dalam penjelasannya nanti perlu dijelaskan, jangan sampai rancu pengertiannya. Karena itu perlu kesepakatan dari semua fraksi mengenai istilah badan privat ini.
Selanjutnya, FKP memberikan tanggapan bahwa yang pertama perlu adanya kejelasan dari pemerintah adalah apa yang dimaksud dengan penetapan tertulis itu. Mengenai istilah tertulis ini FKP merasa belum jelas. Apakah sekedar tertulis saja, asal tertulis meskipun tidak ada tanda tangan atau dalam bentuk-bentuk tertentu. Apabila sekedar penetapan tertulis saja, bisa saja mencakup kawat, teleks, radiogram, dan sebagainya. Kedua, FKP kembali mengulang mengenai istilah badan, jadi yang mengambil keputusan itu bisa badan dan bisa juga pejabat. Apakah istilah bdan dalam butir 2 ini sama dengan istilah badan dalam butir 4? Apabila memang sama, apa perlunya butir 2 itu? Apakah tidak bisa langsung butir 4? Apabila tidak sama, istilahnya harus lain, misalnya saja butir 2 itu tidak menggunakan istilah badan, tetapi diusulkan perangkat, ketiga, mengenai istilah tindakan hukum bagi orang yang berkecimpung dibidang hukum, istilah ini tidak asing lagi, tetapi bagi orang yang awam hukum akan sulit untuk menangkapnya. Karena itu, mengenai istilah tindakan hukum ini perlu ada penjelasannya. Keempat, mengenai istilah induvidual dan final. Apakah individual itu hanya mengenai seseorang. Apakah juga bisa mengenai sekelompok orang. Misalnya, suatu keputusan pelebaran jalan dijaln tertentu, yang menyangkut sederetan rumah. FKP dalam hal ini berpendapat bahwa hal ini termasuk individual. Contoh lain, suatu kawasan pemukiman dalam perencanaan kota dicadangkan untuk dijadikan kawasan industri, orang-orangnya belum tahu. Kemudian, perencanaan itu mengakibatkan harga tanah dikawasan itu menjadi naik atau turun. Selanjutnya ada keputusan gubernur yang menyatakan bahwa sambil menunggu pelaksanaan rencana tersebut, orang-orang yang tinggal disekitar kawasan tersebut tidak boleh mengdakan transaksi jual-beli mengenai tanah itu tanpa ada izin dan sebagainya. Apakah hal ini termasuk individual, apakah termasuk final? Istilah-istilah baru inilah yang perlu mendapatkan penjelasan, yang terakhir adalah sama dengan yang diusulkanoleh FABRI, yakni mengenai istilah hukum privat.
Terhadap rumusan pasal 1 butir 4 ini selanjutnya FPDI memberikan tanggapan mengenai keputusan tertulis, sebab menurut FPDI memang bisa keputusan itu diambil secara lisan dan kemudian dicatat. Ketetapan bentuknya harus tertulis, sebagaimana diketahui keputusan itu dapat merupakn hasil perundingan beberapa pihak, tetapi dapat juga merupakan keputusan seorang pejabat. Sedangkan ketetapan merupakan suatu tindakan sepihak yang dinyatakan keluar secara tertulis dalam suatu hal khusus untuk menimbulakna suatu akibat hukum. Apabila ketetapan itu pasti tertulis, maka FPDI mengusulkan keputusan TUN adalah suatu ketetapan tertulis, selanjutnya, yang terakhir adalah sama dengan yang dipermasalahkan oleh FABRI, yakni mengenai istilah hukum privat.
Selanjutnya, terhadap masalah ini FPP memberika tanggapan sebagai berikut. Dalam DIM memang FPP mengajukan usul perubahan, yaiut kalimat “yang bersifat konkret” individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau bdan hku privat” diusulkan untuk dihapuskan. Kalimat ini merupakan tambahan kalimat dari kalimat sebelumnya, yang justru kurang jelas. Kekurang jelasan ii terbukti dari pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh fraksi-fraksi lain mengeni penggunaan istilah individual, final itu. Bedanya FPP langsung mengusulkan untuk dihapus saja. Namun apabila permintaan dari fraksi-fraksi lain mengenai penjelasan tentang individual, final dan sebagainya itu memberikan kejelasan dan mungkin perlu lebih dijelaskan lagi, maka FPP tidak keberatan apabila hal itu dapat ditempatkan dalam penjelasan pasal demi pasal dengan kalimat yang lebih luas sehingga tidak menimbulkan tanda tanya lagi atau kekurangjelasan itu.
Masalah yang kedua adalah yang berhubungan dengan penetapan tertulis. Hal ini dikaitkan dengan pasal 3 ayat 2 dan ayat 3 RUU, yakni adanya semacam keputusan yang mungkin saja tidak tertulis apabila hal ini dikaitkan dengan pasal 56 ayat 3 RUU yang menyatakan bahwa gugatan harus disertakan pula persyaratan adanya keputusan tertulis. Sedangkan pasal 3 ayat 2 itu memungkinkan adanya keputusan yang tidak tertulis. Hal ii akan menimbulkan suatu kesulitan bagi pencari keadilan yang mengajukan gugatan. Itulah sebabnya FPP mengajukan saran agar diantara kata “tertulis” itu disisipkan kata “atau tidak tertulis”.
Atas tanggapan dari fraksi-fraksi ini pemerintah megemukakan hal-hal sebagai berikut. Butir 4 ini terdiri atas 6 unsur pertama, penetapan tertulis. Kedua, dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Ketiga, berisi tindakan hukum TUN. Keempat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelima, bersifat konkret, individual dan final. Keenam, menimbulkan akibat huun bagi seseorang atau badan huum privat. Dibawah inipenjelasan dari pemerintah mengenai ke-6 unsur tersebut.
Penetapan tertulis merupakan suatu keputusan TUN yang bersifat menetapkan, yang merupakan terjemahan dari istilah belanda, yakni beschikking . mengenai pernyataan bagaimana halnya denga kawat, teleks, telegram dan lain-lainnya hal ini tentu harus melihat pada masing-masing produk itu. Jadi, memang standart bentuk tidak ada, tetapi yang penting adalah unsur-unsur dari kawat atau telegram tersebut. Apakah kawat, teleks, radiogram atau telegram itu telah memenuhi 6 unsur yang terdapat dalam butir 4 ini? Disamping itu, harus jelas juga siapa yang mengirim atau siapa yang menandatangani dan ditujukan kepada siapa kawat, teleks, atau radiogram tersebut. Sebab, hal ini akan menyangkut salah satu unsur sari butir 4, yakni penetapan tertulis. Mengapa harus tertulis, karena yang menjadi objek sengketa memang tertulis. Sedangkan perbuatan-perbuatan materiel, umpamanya menebang pohon, tidak merupakan objek sengketa TUN. Perbuatan demikian apabila menimbulkan kerugian harus digugat melalui gugatan perdata dan diadili diperadilan umum,
Unsur berikutnya adalah dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Kata badan yang ada dalam butir ini adalah sama dengan kata badan pada butir 2. demikian juga dengan kata pejabat adalah sama dengan kata pejabat yang ada dalam butir 3.
Unsur selanjutnya adalah berisi tindakan hukum TUN. Disini dititik beratkan pada hukum TUN, bukan pada tindakan hukum saja. Jadi bukan sembarang hukum, karena keputusan TUN harus berisi tindakan hukum TUN. Tindakan hukum yang bukan hukum TUN konkretnya adalah tindakan hukum yang berdasarkan hukum perdata. Hal ini bukan merupakn objek sengketa TUN, karena itu, kata TUN melekat pada kata tindakan hukum.
Unsur bersifat konkret, individual, final artinya keputusa yang berifat umum atau keputusan yang bersifat abstrak seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden yang bersifat mengatur, dan peraturan menteri bukanlah merupakan keputusan TUN menurut undang-undang ini. Demikian juga dengan peraturan daerah. Katanlah menggusur tanah merupakan keputusan yang bersifat umum dan jika menimbulkan kerugian bagi seseorang tetap dapat digugat, tetapi digugat melalui peradilan umum bukan peradilan TUN. Namun, apabila keputusan penggusuran tanah itu dituangkan dalam suatu penetapan tertulis yangdiberikan kepada masing-masing penghuni, jadi ada unsur konkret dan individualnya, maka hal ini dapat digugat diperadilan TUN. Jadi, konkret lawanya adalah abstrak,individual lawannya umum. Bersifat final, karena merupakan keputusan akhir yang dapat dilaksanakan. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan dari pihak lain belum merupakan keputusan finah dan menurut RUU ini bukan merupakan objek keputusan TUN. Karena itu, tidak merupakan objek sengketa TUN , pemerintah secara sadar membatasi ruang lingkupnya, walaupun ada pihak lain yang ingin memperluasnya.
Pemerintah menyadari bahwa peradilan TUN ini merupakan sesuatu yang baru, sehingga bersikap hati-hati untuk tidak menyajikan suatu undang-undang yang luas sekali, yang belum tentu bisa berhasil. Terbatas inipun masih melihat pada perkembanganny. Apabila perkembangan berikutnya ada keperluan dan kebutuhan untuk menyempurnakan undang-undang ini masih dimungkinkan. Karena itu, tidak ada ambisi dari pemerintah untuk mengajukan suatu RUU yang tahan untuk puluhan tahun, apapun perkembangan dan dinamika masyarakat masih merupakan suatu hal yang terus menerus menjadi bahan untuk diamati.
Unsur yang terakhir adalah menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum privat, jadi, keputusan itu harus ada akibat hukumnya, akibat hukum ini merupakan dasar untuk menggugat bagi rakyat. Mengenai istilah badan hukum privat pemerintah menyetujui apabila istilah ini dijelaskan dalam penjelasan. Sebagai bahan untuk merumuskan penjelasannya, bahwa yang dimaksud badan hukum privat dalam undang-undang ini adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum perdata. Dengan demikian, maka jelaslah ruang lingkup dan pengertian dari badan hukum privat itu karena bdan hukum ini didirikan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata.
Tambahan dari FKP mengenai pernyataan bagaimana dengan kerugian yang diakibatkan oleh suatu rencana. Hal ini harusdi kaji kembali berdasarkan rumusan TUN. Rencana belm merupakan keputusan TUN yang final, tetapi tidak berarti bahwa pemerintah tidak dapat digugat.
Untuk usul FPP pemerintah tidak dapat menerima apabila kata-kata “yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum privat” itu harus dihapuskan. Justru hal ini dimaksudkan untuk kejelasa masalah ini dan hal ini menurut pemerintah sangat prinsipil dan sangat straregis karena masuk dala pasal 1 butir 4 sedangkan sisipan kata “tidak tertulis” tidak dapat diterima, karena yang dimaksud dalam RUU ini justru keputusan yang tertulis. Hal ini akan mendapatkan penjelasan lebih lanjut pada saat pembahasan pasal 3 RUU.
Setelah penjelasan dari pemerintah, kepada masing-masing fraksi diberikan kesempatan lagi untuk menanggapinya. FABRI setelah mendapatkan penjelasan dari pemerintah sudah cocok tinggal menunggu perkembangan lebih lanjut.
FKP memberikan tanggapan bahwa mengenai penetapan tertulis ini yang penting bukan bentuknya, tetapi isinya. Jadi meskipun dalam bentik surat kawat, teleks dan sebagainya asal isi surat itu memenuhi 6 unsur tersebut. Justru inilah FKP minta agar dicantumkan dalam penjelasan. Mengenai istilah badan, penjelasan dari pemerintah masih dirasakan agak mendua. Disatu pihak pemerintah menjelaskan bahwa mungkin itu adalah satu, mungkin itu adalah dua. FKP hanya minta perhatian dari pemerintah, bahwa butir-butir ini terletak dalam pasal 1, yakni mengenai pengertian. Karena itu, apa yang tersebut dalam butir 2, pengertian mengenai badan TUN ini adalah tidak mungkin sama dengan apa yang disebut dalam butir 4, yang menyebutkan bahwa keputusan itu dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN. Karena istilah badan itu sudah dijelaskan dalam butir 2 yakni menyelenggarakan kegiatan TUN. Sedangkan mengambil keputusan itu hanyalah sebagian saja dari penyelenggaraan kegiatan TUN.
Kemudian mengenai tindakan hukum, FKP bisa menerima penjelasan pemerintah bahwa tindakan hukum disini adalah tindakan hukum TUN. Selanjutnya, mengenai “peraturan perundang-undangan yag berlaku”, FKP ingin meminta perhatian kembali bahwa butir 4 ini sama dengan butir 2.
Kemudian yang menyangkut masalah konkret, individual dan final. Ada kemungkinan suatu keputusan itu belum bersifat final, tetapi sudah ada pemberitahuan, peringatan, misalnya permintaan pengosongan rumah, yang mau tidak mau sudah menimbulkan suatu akibat yang merugikan.
Mengenai masalah indivdual, pemerintah lebih cenderung untuk membatasi pada keputusan yang menyangkut pribadi seseoarang.
Akhirnya FKP bisa menerima pendapat pemerintah, bahwa dalam tahap pertama ini memang kompetensi yang diberikan kepada peradilan TUN sengaja dibatasi. Hal ini dengan harapan peradilan TUN nantinaya diharapkan dapat memberikan suatu pengaruh agar keputusan-keputusan pemerintah itu betul-betul sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku secara jelas dan konkret.
Mengenai masalah badan atau pejabat, FKP masih belum cocok istilahnya . karena itu istilah badan atau pejabat ini dan dikaitkan dengan butir 2 dan 3 perlu mendapatkan kejelasan lebih lanjut. Terhadap inilah pemerintah memberikan penjelasannuya bahwa sebelum memasuki butir 4, maka didahului dengan butir 2 dan 3, yang fungsinya sebagai pengantar untuk memasuki butir 4. didalam butir 2 ada istilah badan dan dalam butir 3 ada istilah pejabat. Karena itu, bertemulah istilah badan dan pejabat dalam butir 4.
Mengenai masalah final, FKP mempertanyakan bagaimana dengan keputusan yang belum final tapisudah menimbulkan suatu akibat hukum yang merugikan. RUU ini memang terbatas kepada keputusan TUN yang benar-benar final, sedang keputusan yang masih memerlukan persetujuan itu belum merupakan keputusan final. Final artinya keputusan akhir yang sudah dapat dilaksanakan , sebab pemerintah khawatir aoabila keputusan yang belum final dicantumkan dalam butir 4, maka berarti ada kesempatan untuk menggugat keputusan yang belum final tersebut melalui pengadilan TUN. Padahal keputusan finalnya sendiri masih ditunggu dan mungkin keputusan final tersebut justru tidak merugikan. Apabila demikian, berarti pengadilan akan mengadili sesuatu yang masih belum selesai atau sesuatu yang belum pasti. Hal ini tidak berarti bahwa rakyat tidak dilindungi, rakyat masih tetap dilindungi dengan memberikan kemungkinan menggugat pemerintah dengan gugatan ganti kerugian melalui psal 1365 KUH perdata.
Terakhir, dalam tahap pertama memang sengaja RUU ini diajukan dengan suatu misi tertentu , hal ini meyadari akan ketidakmampuan kita semua, sehingga keterbatasan masih mewarnai RUU ini dan FKP menerima hal ini. Dengan lahirnya peradilan TUN ini akan menimbulkan suatu situasi yang bersifat edukatif bagi aparatur pemerintah agar berhati-hati dalam mengeluarkan keputusan ini. Peradilan TUN ini diharapkan mengubah citara wajah aparatur pemerintahan menjadi aparatur yang makin bersih dan makin beribawa. Karena itu, peradilan TUN merupakan Judicial control . selama ini kontrol yang ada hanya bersifat intern saja, artinya kontro berasal dari pemerintah itu sendiri. Sekarang pihak yudikatif sudah mulai mengadakan judicial control dan judicial control dalam negaranegara hukum adalah suatu hal yang sangat penting. Pemerintah setuju deangan pernyataan dari FKP bahwa apapun juga peradilan YUN ini akan membawa dampak yang positif terhadap car kerja aparatur pemerintah.
Terhadap pernyataan FPP, pemerintah memberikan jawaban bahwa memang banyak penetapan yang tidak tertulis, contohnya mengenai perkebunan gula tidak bisa terlepas dari suatu kenyataan bahwa apapun juga kebijaksanaan negara (staatsbeleid). Selain itu, ada juga yang disebut staatbeheer, yakni bagaimana sebaiknya menyelenggarakan atau mengatur negara atau pemerintahan itu. Hal ini ada jalur-jalurnya sendiri, yang mungkin tidak sampai kepada pejabat tingkat daerah. Karena itu pejabat ditingkat daerah tinggal melaksanakannya saja. Namun, apabila hal ini ditanyakan kepada atasan akan ada suatu keputusan yang dikeluarkan dalam rangka meningkatkan produksi gula. Jadi, keputusan itu sebenarnya tertulis tetapi tidak diketahui oleh umum.
Demikian juga dengan pelebaran jalan, semuanya biasanya ada keputusannya, karena hal ini berkaitan erat dengan anggaran. Barangkali inilah titik kelemahan di negara kita, penjelasan atau penerangan mengenai suatu kebijaksanaan belum sampai pada masyarakat lapisan bawah. Namun, andaikata memang tidak ada suatu keputusan tertulis, tetap masih terbuka jalan bagi warga masyarakat untuk menggugat pemerintah dipengadilan. Pemerintah setuju untuk memberikan penjelasan mengenai masalah konkret, individual, dan final ini.
Terhadap penjelasan pemerintah ini semua fraksi menerimanya. Selanjutnya, butir 4 ini akan dibicarakan lebih lanjut dalam rapat panitia kerja. Dan, penjelasan ini akan dijadikan bahan dalam rapat panitia kerja. Setelah dibahas dalam rapat panitia kerja, rumusan butir 4 ini menjadi: “keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseoarnga tau badan huku perdata”, setelah menjadi UU, butir 4 ini diganti menjadi butir 3.
Rumusan butir 3 dalam UU no.5 tahun 1986 diberikan penjelasan secara detil. Apabila kita melihat pada penjelasan pasal tersebut, maka akan diperoleh penafsiran secara otentik terhadap pengertian “penetapan tertulis”, badan atau pejabat TUN”, “tindakan hukum TUN”. “konkret”, “individual”, dan “final”.
Dengan demikian, apabila kita hendak mencari penafsiran secara otentik terhadap pengertian “penetapan tertulis”, “badan atau pejabat TUN”, “tindakan hukum TUN”, “konkret”, “individual”, dan “final”, maka kita harus melihat pada penjelasan pasal 1 butir 3 UU nomor 5 tahun 1986